A.
PENGERTIAN ILMU QIRAAT
qiraat
menurut istilah adalah "bacaan", berasal dari kata "قرأ"
yang berarti "membaca". Jadi qiraat adalah bentuk pengucapan kata
atau kalimat Quran yang di dalamnya termasuk perbedaan dialek/logat (cara
pengucapan kalimat) yang bersumber pada Rasulullah saw. Antara Tajwid dan
Qiraat walaupun secara lahiriyyah nampak berbeda, namun keduanya merupakan satu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Tapi qiraat yang disandarkan pada
seorang imam , maka tetap memilki kaidah-kaidah tertentu bagaimana cara
pengucapan yang baik (Tajwid), begitu pula sebaliknya, tiap kaidah untuk
membaguskan pengucapan ayat Quran tentu menurut Qiraat atau bacaan yang
disandarkan pada seorang imam QIraat.
Dengan
demikian dapat diringkas bahwa: Qiraat membahas mengenai bentuk-bentuk
pengucapan lafadz ayat-ayat Al-qur’an sedang Tajwid membahas mengenai cara
bagaimana mengucapkan bentuk-bentuk tersebut dengan baik.
Ilmu
qiraat adalah bagian dari ulum Al-Quran atau ilmu-ilmu tentang Al-Quran yang
membicarakan kaidah membaca Al-Quran. Ilmu itu disandarkan kepada Imam
periwayat dan pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW. Cara pengambilan ilmu ini adalah dengan cara ‘talaqi’ yaitu dengan memperhatikan bentuk mulut,
lidah dan bibir guru ketika melafazkan ayat-ayat Al-Quran
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an
berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui as-sima ( السّماع )
dan an-naql ( النّقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan
bahwa:
• Yang dimaksud
qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an
sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan
Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at
al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah
maupun taqririyah.
• Qira’at
al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya
memiliki beberapa versi.
Selain
itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau
imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shabuni misalnya, mengemukakan definisi
sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara
pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan
madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi
SAW.”
B.
LATAR BELAKANG TIMBULNYA
PERBEDAAN QIRA’AT
Bangsa
Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku
lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti
letak geografis dan social budaya pada masing-masing suku.
Layakknya Indonesia yang
memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan
bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi,
berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya.
Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sini,
perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam
bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah
itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW
sendiri membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya
al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf, konteks hadis itu
sendiri memberikan peluang al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah.
Berikut latar belakang adanya perbedaan qiraah :
1. Latar Belakang Historis
Qira’at
sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
pendapat ini, yaitu :
Suatu
ketika Umar bin Khathtab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca
ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang
artinya :
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang
kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu
pada awal abad II H, tatkala para qari’ telah tersebar di berbagai pelosok.
Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari
guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh
atau yang empat belas.
Timbulnya
sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu
Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya perpaduan
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang
pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
2. Latar Belakang cara penyampaian
Menurut
analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula
dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan
kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam
kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.
C.
PENYEBAB PERBEDAAN
QIRA’AT
Sebab-sebab
munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :
1. Perbedaan
qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi
memakai beberapa versi qiraat.
2. Pengakuan dari
nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu,
hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta
hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. Ada riwayat dari para sahabat nabi
menyangkut berbagai versi qiraat yang ada atau perbedaan riwayat dari para
sahabat nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
3. Adanya lahjah
atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.
4. Perbedaan
harakah atau
huruf.
D.
SYARAT QIRAAT
Melalui
perkembangan ilmu qiraat yang pesat, lahirlah berbagai bentuk bacaan yang
semuanya bersumber dari Rasulullah SAW. Hal ini karena pemahaman mereka yang
berbeda dalam memahami maksud Rasulullah SAW yang mengatakan Al-Quran itu
diturunkan dalam tujuh huruf. Oleh karena itu masing-masing pembawa qiraat
mendakwa qiraatnya berasal dari Rasulullah SAW, Hingga di masa itu, belum
dirumuskan dan belum dipastikan bacaan mana yang betul-betul dari Rasulullah
SAW. Oleh karena itu, para ulama merumuskan tiga syarat bagi setiap qiraat yang
dianggap betul dari Rasulullah SAW:
1. Sanadnya Sahih
– maksudnya, suatu bacaan dianggap sahih sanadnya apabila bacaan itu diterima
darisalah seorang imam atau guru yang masyhur, tertib, tidak ada cacat dan
sanadnya bersambung hingga kepada Rasulullah SAW.
2. Sesuai Dengan
Rasm ‘Usmani – maksudnya, suatu qiraat dianggap sahih apabila sesuai dengan
salah satu Mashaf ‘Usmani yang dikirimkan ke berbagai wilayah Islam kerana ia
mencakup sab’atu ahruf.
3. Sesuai dengan
tata bahasa Arab – Tapi syarat terakhir ini tidak berlaku sepenuhnya, sebab ada
sebagian bacaan yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena
sanadnya sahih dan mutawatir yang diriwayatkan dari imam qiraat yang tujuh dan
yang sepuluh maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka, maka qiraatnya
dianggap sahih.
Setiap
qiraat yang memenuhi kriteria di atas adalah qiraat yang benar yang tidak boleh
ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat diatas disebut
qiraat yang lemah.
E.
MACAM-MACAM QIRAAT
·
Dari segi kuantitas
1. Qiraah sab’ah (qiraah tujuh)
Kata
sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah
bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah
al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188
H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.
2. Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)
Yang
dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas
ditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin
al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin
Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w.
229 H).
3. Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)
Yang
dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah
disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan
al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak
al-Yazidi an-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad
asy-Syambudz (w. 388 H).
·
Dari segi kualitas
Berdasarkan
penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam
lima bagian:
1. Qiraat
Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
2. Qiraat
Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan
tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui
jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh
tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak
digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
3. Qiraat Ahad,
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan
kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana
ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Qiraat Syadz,
(menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih.
5.
Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani.
6. As-Suyuthi
kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits
Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran.
Umpamanya qiraat Abi Waqqash.
F.
PENGARUH QIRAAT TERHADAP
ISTIMBATH HUKUM
Perbedaan
antara satu qiraat dan qiraat lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk
kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu memiliki sedikit atau banyak perbedaan
makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistinbathkannya.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum
dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh
berikut:
Firman Allah SAWT:
يآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى
الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ ( المائدة : ٦)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang hendak mendirikan shalat,
diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah
di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam
berwudhu, kedua kaki wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn
Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ
Sementara riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ ,
sedangkan riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib
dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ .
Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ
menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air,
yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم ,
mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab
Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b. Dalam ayat tersebut
Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan
sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib
dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ
sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ
kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ ,
akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ
dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ
yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi
makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung
memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam
berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan
alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at
tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang
berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan
perbedaan istinbath hukum. Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ dipahami oleh jumhur
ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan
mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ
dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam
berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan
mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari
kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk
menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
G.
KEGUNAAN MEMPELAJARI
QIRA’AT
Dengan bervariasinya
qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk
membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan
al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu
hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global
dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
H.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan makalah ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Qiraat adalah
perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya
atau cara pengucapan huruf-huruf.
2. Qiraat
memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah
asyrah.
3. Qiraat
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat
perbedaan kata, huruf dan cara baca.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya, Menteri Agama RI, Semarang:Toha
Putra,2000
As-Shalih Subki, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1993
Hasanuddin Af, Anatomi Qur’an; Perbedaan Qira’at dan
Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam al-Qur’an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Shihab Quraish, dkk. Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus. 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar